Akhirnya, setelah begitu lama saya menunggu film garapan Ridley Scott yang satu ini, Prometheus tiba dengan dentuman keras buat penonton. Disebut-sebut sebagai sebuah prekuel bagi Alien (1979),Prometheus menimbulkan banyak spekulasi di kalangan moviegoers. Mulai suara sirine pada trailer yang menyamai Alien sekaligus asal-usul kemunculan xenomorph. Selain itu, Prometheus merupakan film bergenre sains fiksi ketiga garapan sutradara asal Inggris itu — sebelumnya ia pernah menelurkan beberapa mahakarya klasik, seperti Alien (1979) dan Blade Runner (1982).
Dengan sentuhan visual yang mencengangkan, Prometheus membawa penonton mengarungi planet asing dengan penuh ketegangan merata dengan premis cerita provokatif, yakni pencarian asal-usul manusia. Mulai dari ditemukannya peta bintang berupa relief di sebuah gua bahwa makhluk asing pernah singgah di Bumi ribuan tahun silam. Dr. Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) — sosok arkeolog yang percaya akan ilmu pengetahuan dan Tuhan — dan suaminya, Dr. Charlie Holloway (Logan Marshall-Green) berasumsi bahwa relief di gua tersebut bukan hanya tanda, melainkan sebuah ‘undangan’ bagi manusia untuk menjelajah planet terluar nan jauh dari tempat tinggal manusia sekarang. Setting-nya sendiri mengambil waktu di masa depan, menjelang berakhirnya abad ke-21 — tahun 2093 tepatnya.
Namun, alih-alih menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar, seperti ‘dari mana kita berasal?’ ‘siapa yang menciptakan kita?’ Mereka (para awak kapal Prometheus) — Elizabeth Shaw, Charlie Holloway, Meredith Vickers (Charlize Theron), Janek (Idris Elba), Fifield (Sean Harris), Millburn (Rafe Spall) dan android berwujud manusia, David (Michael Fassbender) — justru menemukan fakta yang mengerikan dari penciptaan manusia — bahkan hal tersebut akan mengancam keselamatan seluruh umat manusia.
Tak disangkal bahwa Scott sudah menyuguhkan pengalaman penonton yang luar biasa. Efek 3D tampil memukau dengan kedalaman yang tertat rapi dan begitu sedap dipandang. Boleh dibilang cacat sama sekali. Sinematografi pegunungan, air terjun, dataran planet dan lain-lain tampil begitu megahnya. Ini merupakan bukti jika seorang sineas andal sudah duduk di depan kamera, maka hal-hal hebat bisa terwujud. Apalagi, Prometheus adalah salah satu film yang di-shot langsung dengan kamera 3D. Tidak seperti The Avengers (2012) yang merupakan hasil konversi dari kamera biasa.
Plotnya sendiri tergolong menarik. Penciptaan manusia hingga ancaman yang bakal datang serta dialog-dialog ‘berkelas’ yang mengandung nilai-nilai filosofis juga tak lupa hadir di dalamnya — well, thanks to duo Jon Spaihts (The Darkest Hour) dan Damon Lindelof (Star Trek, Cowboys & Aliens). Hubungan antar karakter, rasa ingin tahu mereka, perasaan takut mereka serta hal-hal lain membuat film ini semakin mendebarkan. Jika saya boleh tebak, sebagian besar penonton pastinya akan begitu menyukai karakter David yang dilakoni Fassbender itu. Fassbender sekali lagi mampu menunjukkan kemampuan aktingnya dengan sangat baik.
Sedangkan Theron sendiri di sini cenderung berada dalam ‘bayang-bayang’. Mungkin karena karakternya yang memang memiliki porsi yang tidak begitu banyak. Untuk Rapace sendiri, saya rasa kita semua tidak perlu lagi ragu dengan performanya. Sebab, seperti yang sudah pernah dipamerkannya dalam versi orisinalThe Girl with the Dragon Tattoo (2009), Rapace terhitung mampu menunjukkan siapa dirinya.
Jelas-jelas saya merasa terpuaskan dengan kedatangan Prometheus sebagai salah satu film musim panas yang ditunggu-tunggu tahun ini. Visualisasi yang memukau, plot yang digarap dengan baik, dan performacast-nya yang mumpuni mampu menyedot penonton ke lingkup planet terjauh dari Bumi itu, apalagi jika menyaksikan versi 3D-nya yang apik. Lagipula, Prometheus adalah suatu karya yang saya harapkan dari seorang Ridley Scott. Ia mampu mengeset barometer film sains fiksi sampai ke titik puncak dengan menyuguhkan teror angkasa luar berbalut horor mencekam. Hebat!